Rabu, 27 Oktober 2010

RASA AGAMA DAN INDIKATOR RASA AGAMA

PEMBAHASAN

A. Definisi Rasa Agama
Ada beberapa definisi rasa agama yang di uraikan oleh para pakar psikolgi agama diantaranya:
1. Walter Houston Clark dalam bukunya yang berjudul psychology of religion :
The inner experience of the individual when he sense a beyond, especially as evidenced by the effect of this experience on his behaivior when he actively attempts to harmonize his life with the beyond (rasa agama adalah pengalaman bathin dari seseorang ketika ia merasakan adanya Tuhan, khususnya bila efek pengalamannya terbukti dalam bentuk perilaku yaitu ketika ia secara aktif berusaha menyesuaikan hidupnya dengan Tuhan).
2. William James :
Religion is the feelings, acts, and experiences of individual ,men in their solitude, so far as they apprehend them selves to stand in relation to whatever they may consider the devine.(rasa agama adalah perasaan, tindakan, dan pengalaman seseorang dalam batinnya, sehinnga sampai seberapa jauh mereka dapat memahami diri mereka untuk tetap menjalankan pengalaman yang bersifat ketuhanan.)

Berangkat dari pengertian di atas maka setidaknya dapat di tarikk sebuah garis besar paradigma pemahaman, bahwa rasa agama adalah internalisasi nilai-nilai. Maksudnya adalah rasa agama merupakan sebuah manifestasi dari bentuk internalisasi ajaran-ajaran agama melalui pengalaman bathin sehingga sampai sejauh mana pengalaman bathin tersebut dapat mempengaruhi perilaku seseorang. William James menambahkan bahwa yang disebut rasa agama bukan saja pada bentuk Bathiniyyah saja, lebih dari itu rasa agama juga dapat berbentuk tindakan-tindakan yang bersifat kebertuhanan .
B. Indicator Rasa Agama
Pada dasarnya rasa agama adalah sebuah pengalaman bathin, sedangkan pengamalan bathin sendiri merupakan hal-hal yang berkaitan erat dengan kejiwaan. Karena ruang lingkup kajian jiwa sangatlah luas sampai-sampai para psikolog sangat sulit mengungkap dengan jelas bagaimana timbulnya rasa agama itu. Namun, Jika kita kembali pada sejarah munculnya psikologi agama sebagai disiplin ilmu yang otonom yang baru muncul ke permukaan dan populer dikaji sebagai disiplin ilmu baru pada akhir abad ke-19 . Menurut Thouless, psikologi agama sendiri mulai berkembang setelah terbitnya buku the varieties of relegius experience pada tahun 1903.
Sekitar tahun itu psikologi agama mulai berkembang dan sebagai alat untuk meneliti agama dari susut pandang psikologi. Sasaran penelitian psikologi agama adalah rasa agama yang berarti merupakan kondisi internal manusia. Untuk menganalisis kondisi internal tersebut maka dapat dapat dilihat dari ekspresi tingkah laku yang tercermin melalui pengalaman kebertuhanan (bathin).
Kompleksitas yang dipikul dalam mengkaji rasa agama yang berupa internalisasai menarik para psikolog untuk memetakan aspek-aspek yang ada dalam mengkaji rasa agama dengan kata lain, pemetaan yang dilakukan oleh psikografi bertujuan untuk mempermudah kajian tentang indicator rasa agama.
Dalam mengkaji indicator rasa agama, para psikografi banyak terinspirasi dari teori glock (1962) tentang dimensions of relegions commitment. Glock mengutarakan ada 5 (lima) dimensi komitmen (indikasi) keagamaan yaitu: Ritualistic, ideological, intellectual, experiential, dan consequential. Verbit (1970) salah satu psikolog juga mengamini lima dimensi komitmen yang di ungkapkan oleh Glock dan strark, tetapi menurutnya kelima dimensi terssebut belum cukup dan dia menambahkan satu dimensi yang lain agar kajian indikasi rasa agama lebih dapat menyeluruh yaitu community. Di lain pihak walaupun secara jelas Verbit menyetujui ke lima dimensi yang diungkapkan diatas verbit juga menggunakan istilah yang agak berbeda dengan Glock yakni: ritual, doctrin, emotion, knowledge, ethics, dan community .
Dalam makalahnya, Dra. Susilaningsih memerinci dan mendeskripsikan gabungan dari dua indicator diatas, karena memang stressing point yang terdapat pada kedua pendapat tersebut bersamaan dan terdapat perbedaan hanya pada penggunaan istilah saja. Lalu Susilaningsih menggunakan istilah yang lebih mudah dipahami dengan sebutan :
1. Relegius belief (the ideological/ doctrine commitment)
Relegius belief atau kepercayaan agama. rasa agama seseorang dapat diukur dengan seberapa jauh pengamalan beragama seseorang memercayai doktrin-doktrin agamanya, ajaran-ajarannya, taqdirnya, dan semua hal yang berkaitan dengan perintah Tuhan. Kepercayaan seseorang kepada Tuhan dan sifat-sifatNYA merupakan substansi dari adanya rasa agama pada diri seseorang. Maka kemudian efek yang timbul dari kepercayaan tersebut berakibat pada indikasi seseorang untuk meyakini adanya kewajiban-kewajiban untuk beribadah dan perecaya akan kehidupan setelah mati. Dalam islam sendiri, indicator yang pertama ini termuat dalam bentuk Rukun Iman yang berupa; iman kepada Allah, malaikat, nabi dan, kitab-kitabNYA, hari kiamat dan Qodha’ dan takdir.
2. Relegius practice (the ritualistic commitment)
Adapun indikator yang kedua adalah berupa pelaksanaan kewajiban agama. pada relegius practice ini rasa beragama seseorang dapat diukur dengan seberapa jauh seseorang giat dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban beragama seperti, kehadiran seseorang ke Gereja, Pura, Wihara, atau melaksanakan ibadah wajib bagi ummat Muslim. Dalam bentuk kedua ini pengukuran pengalaman beragama ummat muslim dapat di fokuskan pada pelaksanaan Rukun Islam yang berupa, Syahadataini, sholat, Zakat, Puasa, dan Haji. namun, yang disayangkan dari masyarakat kita adalah seringkali terjebak pada pengukuran rutinitas pelaksanaan peribadatan tersebut tanpa melihat beberapa korelasi yang lain.
3. Relegius feeling (the experiential / emotion commitment)
Dimensi ketiga adalah Demensi perasaan. Biasanya pada dimensi ini dapat diamati dengan seberapa dalam rasa kebertuhanan seseorang. Dimensi ini sering juga disebut dengan esensi keberagamaan. Karena pada dimensi ini terdapat sebuah relasi transendental yang mana indikatornya tidak hanya pada percaya akan adanya tuhan melainkan dapat di evaluasi dengan kedekatan seseorang pada Tuhannya.
Adapun bentuk kedekatan pada Tuhan yang dirasakan pada dimensi ini melalui pelaksanaan ibadah, yakni seberapa sering seseorang merasakan perasaan yang spektakuler dalam hubungannya kepada Tuhan. Contohnya seberapa sering seseorang merasa doanya diterima, merasa selalu di perhatikan oleh Tuhan dan dijaga sehingga seseorang tersebut ingin selalu dekat dengan Tuhannya.
Bagi orang islam indicator ini dapat dilihat dengan keaktifan dalam melaksanakan ibada-ibadah Sunnah, bersifat ikhlas, berbaik sangka, dll. Disisi lain, dimensi perasaan juga sangat menonjol gejalanya bagi orang-orang yang mengalami konversi agama.
4. Relegius knowledge (the intellectual commitment)
Dimensi pengetahuan atau dimensi intelektual. Dimensi ini mengukur tentang intelektualitas keagamaan seseorang dengan kata lain, sampai seberapa banyak pengetahuan keagamaan seseorang dan seberapa tinggi motivasi untuk menambah pengetahuan beraagamanya.
Pada dimensi ini juga mengkaji tentang sifat intelektualitas seseorang apakah dia bersifat eksklusif (tekstual, doktriner) ataukah inklusif –kontektualis serta melihat sikap toleransi keagamaan seseorang baik secara intern (sesama agama) maupun secara ekstern (antar agama lain).
5. Relegius effect (the consequential/ethics commotment)
Selanjutnya adalah dimensi etika atau moral. Inti dari dimensi ini adalah mengukur tentang efek atau akibat pengaruh ajaran agama terhadap perilaku sehari-hari yang tidak terkait dengan perilaku ritual, yaitu perilaku yang mengekspresikan akan kesadaran moral seseorang, baik moral yang berhubungan diri sendiri maupun dengan orang lain. Dalam islam dapat dicontohkan dengan tidak memakan makanan yang haram, pendapatan ekonomi yang halal, menjaga hubungan antara laki-laki dan perempuan, serta menjaga hubungan dengan orang lain seperti saling memaafkan, menghormati dan memulyakan.
6. Community (social commitment)
Pada ranah ini komuniti diartikan sebagai dimensi social yang mana dimensi ini mengukur seberapa jauh pemeluk agama terlibat dalam hubungan social antar sesama makhluk. Dalam islam, dimensi social dapat dicontohkan seperti seberapa besar peran seseorang dalam mengapresiasi dan membantu acara-acara social keagamaan.
Namun dalam perumusan indikator, verbit mengusulkan empat komponen pada masing-masing dimensi rasa agama diatas, hal ini bertujuan pengukuran indicator dapat memperoleh hasil yang lebih deskriptif. Adapun komponen-komponen tersebut adalah sebagai berikut :
a. Content : Sebagai alat ukur substansi dari masing-masing dimensi, yaitu ajaran-ajaran agama yang terkait dengan dimensi-dimensi rasa agama diatas.
b. Frequency : Seberapa sering aktifitas dari masing-masing dimensi itu dilakukan.
c. Intensity : sebarapa tinggi intensitas dari pelaksanaan masing-masing dimensi.
d. Centrality : sebarapa menonjol pelaksanaan suatu dimensi dengan dimensi lain.


KESIMPULAN
Pendidikan Agama Islam (PAI) sebagai salah satu sarana pendidikan agama tentunya tidak hanya berkutat dalam pembahasan material semata. Walaupun, pada dasarnya meteri merupakan pijakan seseorang dalam menambah pengalaman bathinnya. Akan tetapi PAI hendaknya disesuaikan dengan kadar dan kemampuan seseorang dalam trnsformasi keilmuan. Sehingga kegiatan yang terdapat dalam PAI tidak hanya berupa transisi keilmuan melainkan mampu mengena pada taraf transformasi keilmuan yang termanifestasi dalam bentuk ekspresi tingkah laku beragama.
Singkatnya, rasa agama adalah sebuah pengalaman bathin yang bias diamati melalui tindakan keagamaan. Sedangkan upaya untuk mengamati seberapa jauh pengalaman bathin seseorang mempengaruhi tingkah laku seseorang dapat diteliti dengan beberapa dimensi yakni,a). Dimensi keyakinan, b). Dimensi pengamalan, c). Dimensi perasaan, d). Dimensi pengetahuan, e). Dimensi efek/kesan, dan f). dimensi social.
Nah kemudian, dari beberapa dimensi tersebut pengukuran indicator dapat dilakukan dengan 4 cara, content (besarnya muatan), frekuensi tindakan, efektifitas, kesan tindakan.





Daftar Pustaka
Walter Housten Clark, Psychology of religion.
William james, the varieties of relegius experience.
Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta: PT. Grafindo Persada
Susilaningsih, Metodologi Penelitian Agama Pendekatan Psikologi, Jurnal.

Senin, 18 Oktober 2010

PEMIKIRAN AL-GHOZALI TENTANG PESERTA DIDIK


PENDAHULUAN
Al-Ghozali adalah seorang ulama’ besar yang sebagian besar waktunya dihabiskan untuk memperdalam khazanah keilmuan. Perhatiannya yang sangat besar kepada ilmu menjadikan Al-ghozali sebagai salah satu ulama’ islam yang banyak menelurkan hasil buah pemikirannya kedalam bentuk tulisan yang hingga saat ini masih dapat dipelajari serta dianut oleh sebagian kelompok masyarakat.
Hal ini juga membuat para ahli ilmu baik filosof, agamawan, maupun ahli ilmu kalam dll. Merasa tertangtantang untuk melakukan penelitian terhadap hasil karya Al-Ghozali. Sudah menjadi sebuah kewajaran bahwa ”tak ada manusia yang sempurna”. Demikian halnya dengan Al-Ghozali, walaupun banyak orang yang menganggap membela dan menyatakan bahwa Al-Ghozali merupakan pembela islam(hujjatul islam), dan menganggap Al-Ghozali adalah manusia muslim kedua setelah nabi Muhammad SAW dalam membawa dan membimbing ummat melalui pemikiran yang masih dan tetap relevan untuk masa-masa kini(kontemporer) namun, tidak sedikit juga orang yang berasumsi bahwa pemikiran Al-Ghozali kadang bersebrangan dengan rasio. Sehingga ada yang menyatakan bahwa Al-Ghozali merupakan sumber dan pangkal kemunduran islam, dan anti intelektualisme.
Terlepas dari pro dan kontra diatas, ternyata Al-Ghozali juga banyak memberikan perhatiannya terhadap masalah-masalah pendidikan. Hal ini dilakukan Al-ghozali mengingat bahwa islam sangat menjunjung tinggi bagi mereka yang memiliki ilmu dan mereka yang dengan sungguh-sungguh mencari ilmu. Pernyataan ini sesuai dengan firman Allah:
Æìsùötƒ ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# ;M»y_uyŠ 4 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ׎Î7yz ÇÊÊÈ
niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Al mujadalah. 11
Namun, dalam makalah ini kami mencoba membahas pandangan Al-Ghozali tentang peserta didik serta hadiah dan hukuman. Dan adakah relevansinya terhadap masalah pendidikan saat ini?

PEMBAHASAN
A.    Sekilas Auto Biografi Al-Ghozali.

Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad abu Hamid Al-Ghozali/Ghozzali. Beliau dilahirkan pada tahun 450 H/1058 M, di desa Ghozalah, Thusia, wilayah Khurosan, Persia. Atau sekarang yang lebih dikenal negara Iran. Ia juga keturunan Persia dan mempunyai hubungan keluarga dengan raja-raja saljuk yang memerintah daerah Khurosan, Jibal Irak, Jazirah, Persia, dan Ahwaz[1].
Al-Ghozali merupakan anak seorang yang kurang mampu. Ayahnya adalah seorang yang jujur, hidup dari usaha mandiri, pemintal benang dan bertenun kain bulu (wol). Ayahnya juga sering mengunjungi rumah alim ulama’, hal ini dilakukan ayah karena ia pada dasarnya juga sangat senang menuntutu ilmu serta berbuat jasa kepada mereka.
Dia (Al-Ghozali) adalah pemikir ulung islam yang mendapat gelar “pembela islam”(hujjatul islam), “hiasan agama”(zainuddin), ada pula orang yang memanggilnya dengan sebutan”samudra yang menghanyutkan”(bahrun mughriq), dan lain-lain. Gelar tersebut disenmatkan kepada Al-Ghozali karena ia seorang yang mengabdikan hidupnya pada agama dan masyarakat baik melalui pergaulannya ketika beliau masih hidup dan lewat karya-karyanya.
Kira-kira lima tahun sebelum beliau pulang ke hadirat Allah, beliau kembali ke tempat asalnya di Thusia. Ia mengahabiskan waktunya untuk menuntut dan menyebarkan ilmu. Hal ini terbukti setelah ia kembali ke Thusia beliau  membangun sebuah madrasah disamping rumahnya. Beliau juga  masih sempat untuk mengajar dan menuangkan gagasan-gagasannya kedalam bentuk tulisan. Al-Ghozali wafat pada hari Senin, tanggal 14 Jumadil al-tsani tahun 505 H/18 Desember1111 M. saat itu usia baru 55 tahun. Dan dimakamkan disebelah tempat khalwatnya. Al-Ghozali meninggalkan 3 orang anak perempuan sedang anak laki-lakinya yang bernama Hamid telah meninggal dunia semenjak kecil sebelum wafatnya (Al-Ghozali), dan karena anaknya inilah, ia di panggil “Abu Hamid” (bapak si Hamid)[2].

B.     Riwayat Pendidikan Al-Ghozali.
Sebelum ayahnya Al-Ghozali meninggal dunia, ia pernah menitipkan kedua anaknya(seorang diantaranya adalah Muhammad, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Al-Ghozali), kepada seorang sufi (sahabat karib ayahnya). Ayahnya berwasiat kepada sahabatnya untuk memberikan pendidikan kepada kedua anaknya dengan menggunakan harta warisan yang di tinggalkannya.
Setelah harta peninggalan ayahnya habis terpakai, tidaklah mungkin bagi sang sufi itu untuk menafkahi mereka berdua, karena pada dasarnya ia pun hidup dalam kekurangan. Namun, beliau memberikan masukan agar mereka melanjutkan belajar ke madrasah, salain karena disana mereka bisa mewujudkan cita-cita luhur mereka untuk menjadi orang yang alim, mereka juga akan mendapatkan makan untuk kelangsungan hidup mereka
Bersama saudaranya (Ghozali dan Ahmad) tidak menyia-nyiakan kesempatan emas ini untuk mendapatkan pendidikan yang setinggi-tingginya. Memang, Pada saat itu masalah pendidikan sangat diperhatikan, pendidikan dan biaya hidup para penuntut ilmu di tanggung oleh pemerintah dan pemuka masyarakat. Sehingga tidak mengherankan jika pada saat itu  bermunculannya para cendikiawan , baik dikalangan bawah, menengah, sampai elit.
Di dalam madrasah tersebut, Al-Ghozali(seorang anak yang dititipkan tersebut) mempelajari ilmu fiqh kepada Ahamad bin Muhammad Ar-Razikani dan mempelajari tasawwuf kepada Yusuf An-Nasaj, sampai pada usia 20 tahun. Kemudian Al-Ghozali memasuki sekolah tinggi Nidhomiyyah, dan disinilah ia bertemu dengan imam Haromain.
Prof. Dr. Abu Bakar Aceh mengisahkan sebagai berikut[3]:
“Al-Ghozali mempelajari ilmu fiqh, mantiq ,dan ushul, dan dipelajarinya antara lain: filsafat dari risalah-risalah dari ikhwanus shofakarang Al-farabi, Ibnu Miskawaih. Sehingga melalui ajaran-ajaran ahli filsafat itu, Al-Ghozali dapat menyelami paham-paham Aristothelesdan pemikir Yuunani yang lain. Juga ajaran Imam Syafi’I, Harmalah, Jambad, Al-Muhasibi, dan lain-lain, bukan tidak membekas pada pendidikan Al-Ghozali. Begitu jugaImam Abu Ali Al-Faramzi, bekas murid Al-Qusyairiyang terkenal dan sahabat As-Subkhi, besar jasanya dalam mengajar tasawuf kepada Al-Ghozali. Ia juga mempelajari agama-agama lain seperti masehi”.
Dan pada tahun 483 H/1090 M. ia diangkat menjadi guru besar di Universitas Nidhomiyyah Bagdad. Tugas dan tanggung jawabnya itu dilaksanakan dengan berhasil. Selama di Bagdad, selain mengajar ia juga mengadakan bantahan-bantahan terhadap pikiran-pikiran golongan bathiniyyah, ismailliyah, filsafat, dan lain-lainnya.

C.    Pemikiran Al-Ghozali tentang pendidikan
Suatu hal yang menarik dari Al-Ghozali adalah kecintaannya dan perhatiannya yang sangat besar terhadap moralitas dan pengetahuan,  sehingga ia berusaha untuk mengabdikan hidupnya untuk mengarungi samudra keilmuan. Berangkat dari dahaga akan ilmu pengetahuan serta keinginannya untuk mencapai keyakinan dan mencari hakekat kebenaran sesuatu yang tidak pernah puas, Ia terus melakukan pengembaraan intelektualitas, filsafat, ilmu kalam, tasawuf, dan lain-lain. Inilah sebabnya mengapa pemikiran Al-Ghozali terkadang inkonsisten dan kadang terdapat kita temui kontradiktif-kontradiktif dalam kitabnya.
Dalam kaitannya terhadap pendidikan Al-Ghozali memberi pengertian yang masih global. Selain karena memang dalam kitabnya yang paling Mashur (Ihya’ Ulumuddin) tidak dijelaskan secara rigit tentang tujuan pendidikan. sehingga, kita hanya bisa menyimpulkan pengertian pendidikan menurut Al-Ghozali yang di kaitkan lewat unsur-unsur pembentukan pendidikan yang ia sampaikan[4]:
“sesungguhnya hasil ilmu itu ialah mendekatkan diri kepada Allah, Tuhan semesta alam…”
“… dan ini, sesungguhnya adalah dengan ilmu yang berkembang melalui pengajajaran dan bukan ilmu yang tidak berkembang”.
Jika kita perhatikan, pada kutipan yang pertama, kata “hasil”, menunjukkan proses, kata “mendekatkan diri kepada Allah” menunjukkan tujuan, dan kata “ilmu” menunjukkan alat. Sedangkan pada kutipan kedua merupakan penjelasan mengenai alat, yakni disampaikannya dalam bentuk pengajaran.
Adapun yang dimaksudkan Al-Ghozali dalam kutipan ucapannya diatas adalah sebuah konsep, dimana dalam sebuah pelaksanaan pendidikan harus memiliki tujuan yang berlandaskan pada pembentukan diri untuk mendekatkan peserta didik kepada Tuhan. Disamping itu, dalam proses pendidikan, Al-Ghozali menjelaskan sebuah tujuan pendidikan yang bermuara pada nilai moralitas akhlak. Sehingga tujuan sebuah pendidikan tidak hanya bersifat keduniawian, pendidikan bukan sekedar untuk mencari materi di masa mendatangnya. Melainkan pendidikan harus memiliki rasa emansipatoris. Subuah konsep yang masih saja di dengung-dengungkan oleh pakar ilmu kritis saat ini.

D.    Konsep Al-Ghozali Tentang Peserta Didik
Dalam menjelaskan peserta didik Al-Ghozali menggunakan dua kata yakni, Al-Muta’allim (pelajar) dan Tholib Al-Ilmi (penuntut ilmu pengetahuan). Namun, bila kita melihat  kata peserta didik secara makna luas yang dimaksud dengan peserta didik adalah seluruh manusia mulai dari awal konsepsi hingga manusia usia lanjut. Selanjutnya, karena dalam pembahasan ini hanya terkonsentrasi pada wilayah pendidikan formal maka kata peserta didik hanya ditujukan bagi mereka yang melaksanakan pendidikan di lembaga pendidikan sekolah.
Pemikiran Al-Ghozali yang sangat luas dan memadukan antara dua komponen keilmuan, sehingga menghantarkan pemahaman bahwa konsep peserta didik menurutnya peserta didik adalah manusia yang fitrah.
Konsepnya berlandaskan pemahamannya terhadap menafsirkan  firman Allah pada surat Ar-Rum ayat 30.
óOÏ%r'sù y7ygô_ur ÈûïÏe$#Ï9 $ZÿÏZym 4 |NtôÜÏù «!$# ÓÉL©9$# tsÜsù }¨$¨Z9$# $pköŽn=tæ 4 Ÿw Ÿ@ƒÏö7s? È,ù=yÜÏ9 «!$# 4 šÏ9ºsŒ ÚúïÏe$!$# ÞOÍhŠs)ø9$#  ÆÅ3»s9ur uŽsYò2r& Ĩ$¨Z9$# Ÿw tbqßJn=ôètƒ ÇÌÉÈ
30.  Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.

Dan hadis Nabi;
Nabi Muhammad SAW. Telah bersabda: setiap manusia, dilahirkan dalam keadaan fitrah, hanya kedua orang tuanya yang menjadikan ia yahudi, atau nasrani, ataupun majusi.” (H.R. Muttafaq ‘alaih dari Abu Hurairo)[5].
Secara bahasa Kata fitrah berasal dari kata “fathara” (menciptakan), sama dengan kata “khalaqa”. Jadi kata fitrah merupakan (isim masdar) yang berarti ciptaan atau sifat dasar yang telah ada pada saat diciptakannya manusia “asal kejadian”.
Adapun kaitannya terhadap peserta didik, bahwa fitrah manusia mengandung pengertian  yang sangat luas. Al-Ghozali menjelaskan klasifikasi fitrah dalam beberapa pokok sebagai berikut:
1.      Beriman kepada Allah.
2.      Kemampuan dan kesedian untuk menerima kebaikan dan keturunan atau dasar kemampuan untuk menerima pendidikan dan pengajaran.
3.      Dorongan ingin tahu untuk mencari hakikat kebenaran yang merupakan daya untuk berfikir.
4.      Dorongan biologis yang berupa syahwat dan ghodlob atau insting.
5.      Kekuatan lain lain dan sifat-sifat manusia yang dapat dikembangkan dan disempurnakan.
Dengan demikian konsep fitrah yang diletakkan Al-Ghozali dalam memahami peserta didik masih memiliki relevansi dengan dunia pendidikan modern dalam hal sifat-sifat pembawaan, keturunan dan insting manusia.
Hanya saja, dalam hal ini pandangan Al-Ghozali lebih terkonsentrasi pada nilai moral, belajar merupakan salah satu bagian dari ibadah guna mencapai derajat seorang hamba yang tetap dekat (taqarrub) dengan khaliknya. Maka dari itu, seorang peserta didik harus berusaha mensucikan jiwanya dari akhlak yang tercela.
Selanjutnya syarat yang mendasar bagi peserta didik seperti diatas mendorong kepada terwujudnya syarat dan sifat lain sebagai seorang peserta didik, syarat- syarat tersebut antara lain[6]:
1. Peserta didik harus memuliakan pendidik dan bersikap rendah hati atau tidak takabur. Hal ini sejalan dengan pendapat al- ghazali yang menyatakan bahwa menuntut ilmu merupakan perjuangan yang berat yang menuntut kesungguhan yang tinggi dan bimbingan dari pendidik.
2. Peserta didik harus merasa satu bangunan dengan peserta didik lainnya dan    sebagai satu bangunan maka peserta didik harus saling menyayangi dan menolong serta berkasih sayang sesamanya.
3.      Peserta didik harus menjauhi diri dari mempelajari berbagai madzhab yang dapat menimbulkan kekacauan dalam pikiran
4.      Peserta didik harus mempelajari tidak hanya satu jenis ilmu yang bermanfaat, melainkan ia harus mempelajari berbagai ilmu lainnya dan berupaya sungguh- sungguh mempelajarinya sehingga tujuan dari setiap ilmu tesebut tercapai.
Drs. Abidin ibnu Rusyn, dalam bukunya menjelaskan syarat-syarat yang seharusnya dipenuhi oleh pesert didik dengan mengacu dari pemahaman pemikiran Al-Ghozali sebagai berikut[7]:
a.       Belajar merupakan proses jiwa.
b.      Belajar menuntut konsentrasi
c.       Belajar harus didasari sikap tawadhu’
d.      Belajar bertukar pendapat hendaklah telah mantap pengetahuan dasarnya.
e.       Belajar harus mengetahui nilai dan tujuan ilmu pengetahuan yang di pelajari
f.       Belajar secara bertahap
g.      Tujuan belajar untuk berakhlakul karimah
Hampir dengan pendapat di atas, Prof. Fathiyah Hasan Sulaiman mengungkapkan, dengan membaca hasil dari tulisan-tulisan Al-Ghozali yang ingin membentuk peserta didik agar menjadi seorang yang Alim dalam pengetahuan (cendikiawan) maka, peserta didik harus mampu memenuhi beberapa kreteria yang menjadi pondasi dasar dalam mengembangkan pengetahuan peserta didik, yang oleh Al-Ghozali disebut al-wazha’if, adalah[8]:
Pertama : Oleh karena belajar itu termasuk jenis ibadat, mengingat tujuannya adalah mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa jalla, maka pertama-tama yang harus berjiwa bersih, terhindar dari budi pekerti yang hina dan sifat-sifat yang tercela. Ia menganalogikan menuntut ilmu dengan orang yang hendak melaksanakan sholat dimana orang yang hendak melaksanakan sholat harus bersih dan dilakukan dengan hati ikhlas pula.
Kedua : filsafat keagamaan Al-Ghozali juga tampak jelas pada sifat yang di cita-citakannya oleh pelajar. Ia melihat seorang pelajar harus menjauhkan diri dari persoalan-persoalan duniawi, mengurangi keterikatan dengan perkara dunia, karena keterikatankepada dunia dan masalah-masalahnya akan dapat mengganggu lancarnya peserta didik dalam menerima ilmu.
Ketiga : sekali lagi Al-Ghozali menguatkan trend sufinya dalam hal yang ketiga ini, yaitu rendah hati. Sifat ini menurut Al-Ghozali  yang harus dimiliki oleh setiap peserta didik. . dia menganjurkan agar jangan ada murid yang merasa lebih besar daripada gurunya, atau merasa lebih hebat ilmunya dari ilmu yang dimilki oleh gurunya.
Keempat : untuk menghindari terjadinya kekacauan pemikiran murid baru dalam menghadapi ilmu-ilmu yang saling berlawanan dan pendapat-pendapat yang saling bertentangan, maka Al-Ghozali menasehatkan agar murid tidak mempelajari aliran-aliran yang berbeda untuk melibatkan diri dalamperdebatan dan diskusi dengan ulama mengingat masa pendidikannya yang masih singkat.
Kelima : mengingat ilmu-ilmu itu berkaitan dan berhubungan satu dengan yang lainnya, dimana bisa terjadi keawaman terhadap salah satunya lebih ringan disbanding terhadap yang lainnya, maka Al-Ghozali menasehatkan agar pelajar tidak menomor duakan ilmu-ilmu yang terpuji itu. Baik di dalamnya tyerkait dengan ilmu agama ataupun ilmu dunia yang dibahasnya.
Keenam : Al-Ghozali melihat bahwa dalam melaksanakan pendidikan sangat diperlukan adanya pentahapandalam penyajian ilmu. Seorang murid seharusnya di nasehatkan agar tidak mendalami ilmu secara sekaligus. Tetapi memulainya dari ilmu-ilmu agama dan menguasainya dengan sempurna.
Ketujuh : disamping pentahapan tersebut terdahulu, Al-Ghozali melihat pula adanya tahapan yang alami dari semua ilmu, sehinnga pengetahuan tentang sebagiannya akan mengatur seseorang pada penegtahuan selanjutnya. Oleh karena itu, dalam hal ini Al-Ghozali sangat menjaga agar peserta didik tidak melanggar hal ini.
Kedelapan : kecendrungan Al-Ghozali tampak pula ketika ia membuat penilaian yang jelas tentangberbagi ilmu. Ia menasehatkan agar penuntut ilmu mengenal masing-masing serta hasil-hasil yang mungkin akan di capai dari mempelajarinya. Di tegaskannya, nilai ilmu tegantung pada dua hal, yaitu hasil dan argumentasinya.
Kesembilan : menegnai tujuan belajar tampak jelas dalam pernyataan Al-Ghozali sebagai berikut : “dalam menuntut ilmu seorang pelajar harus memiliki dua tujuan. Pertama, tujuan yang dekat, yaitu memperindah serta membina mental dan kedua, tujuan yang jauh yakni, mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Kesepuluh : sekali lagi, Al-Ghozali menekankan bahwa seorang guru harus mengetahui nilai semua ilmu dari segi kegunaannya. Ia (Al-Ghozali) memandang bahwa ilmu agama sebagai ilmu yang paling berguna bagi seorang murid karena dapat menghantarkannya kepada sebuah keabadian.
Dari beberapa kesimpulan diatas, tampak dengan jelas bahwa Al-Ghozali pada dasarnya tidak membatasi bidang ilmu tertentu bagi seorang pelajar dalam menuntut ilmu melainkan ia hanya memberikan tahapan yang harus dilewati oleh seorang pelajar. Meskipun begitu ia tetap lebih menekankan agama yang harus didahulukan disbanding ilmu-ilmu yang lain.

E.     Hadiah Dan Hukuman Menurut Pandangan Al-Ghozali.
Sebelum lebih jauh dalam membahas masalah hadiah dan hukuman, Al-Ghozali membagi alat pendidikan langsung menjadi dua komponen; alat pendidikan preventif dan alat pendidikan kuratif. Namun pembahasan tentang hadiah dan hukuman hanya kita batasi pada alat pendidikan kuratif. Karena keduanya termasuk dalam kategori alat pendidikan kuratif.
Dalam alat pendidikan langsung kuratif Al-Ghozali mengkalsifikasikannya lagi menjadi beberapa kategori sebagai berikut[9]:
1.      Peringatan.
2.      Teguran.
3.      Sindiran.
4.      Ganjaran dan,
5.      Hukuman.
Seperti yang telah dijelaskan pada subtema diatas, pembahasan hanya mengenai hadiah dan hukuman maka, yang akan kita kaji hanya pada alat pendidikan kuratif yang pada urutan keempat (ganjaran/hadiah)  dan kelima(hukuman).
1.      Ganjaran Atau Hadiah.
Ganjaran atau hadiah menjadi salah satu alat pendidikan yang diberikan kepada peserta didik sebagai imbalan atas prestasi atau tugas yang tela ia selesaikan dengan baik sehingga hasil yang diharapkan oleh pendidik tercapai.
Dalam hal ini al-Ghozali menjelaskan sebagai berikut :
“ kemudian sewaktu-waktu pada si anak telah nyata budi pekerti yang baikdan perbuatan yang terpuji maka seyoyanya ia dihargai, dibalas dengan sesuatu yang menggembirakan dan di puji di hadapan orang banyak (diberi hadiah)”.
Dari keterangan diatas dapat dipahami bahwa menurut Al-Ghozali ada tiga macam ganjaran yang di berikan kepada peserta didik, yaitu:
a.       Penghormatan (penghargaan), baik menggunakan kat-kata maupun isyarat.
Adapun yang dimaksud dengan penghormatan lewat kata-kata, misalnya, ucapan baik, bagus sekali, pintar, dan kata-kata lain yang mengandung makna penghormatan. Selanjutnya, penghormatan dengan cara isyarat, bisa seperti, menganggukkan kepala, mengacungkan jempol, tepuk tangan, menepuk bahu dan lain-lain.
b.      Hadiah, yaitu ganjaran yang berupa pemberian sesuatu/ materi yang bertujuan untuk menggembirakan hati anak. Hadih tidak perlu berupa barang yang mahal harganya yang penting pantas saja. Sebaiknya hadiah jangan terlalu sering diberikan, dan hanya melihat kondisi yang pantas saja, misalnya pada anak yang orang tuanya kurang mampu tapi berprestasi.
c.       Pujian di hadapan orang banyak.
Hadiah yang berupa pujian ini dapat diiberikan dihadapan teman-teman sekelas satu sekolahan ataupun di hadapan teman-teman dan orang tua/wali murid, seperti pada waktu penerimaan rapor atau kenaikan kelas.
Pada dasarnya , secara didaktis, ganjaran/hadiah ataupun beserta segala macamnya yang dibahas oleh Al-Ghozali tersebut, telah menjadi acuan dan anutan oleh pakar ahli pendidikan. Bahkan menurut istilah didaktik, hadiah sebagai “fungsi reinforcement” atau fungsi penguatan yang akan lebih mendorong peserta didik untuk lebih giat dan meningkatkan prestasi yang pernah ia capai.
2.      Hukuman.
Hukuman ialah suatu perbuatan sadar dan sengaja menjatuhkan nestapa  pada orang lain dengan tujuan untuk memperbaiki atau melindungi dirinya sendiri dari kelemahan jasmani dan rohani,sehingga terhindar dari segala macam pelanggarran (H. Marsal HMT,DKK,1977,50).
Dalam hal ini Al-Ghazali tidak sependapat dengan orang tua dan pendidik yang dengan cepat-cepat sekaligus memberi hukuman terhadap anak-anak yang berlaku salah dan melanggar peraturan. Hukuman adalah hukuman yang paling aqir apabila teguran, peringatan, fdan nasihat-nasihat belum bisa mencegah anak melakukan pelaggaran.
Demikian itu harus melalui proses untuk memberi hukuman yang secara terinci dijelaskan oleh Al-Ghazali[10]:
“kalau anak itu satu kali menyimpang dari budi dan perbuatan baik tersebut dalam satu keadaan, maka sebaiknya orang tua pura-pura lupa dari hal itu dan tidak membuka rahasianya, tidak menjelaskan sianak bahwa tergambarlah keberanian orang lain untuk melakukan perbuatan seperti itu. Sianak itu itu sendiri akan menutup rahasia dirinya dengan sungguh-sungguh, sebab membuka rahasia yang demikian, mungkin menyebabkan ia berani (berbuat kagi) sampai ia tidak dipedulikan lagi biarprpun dibukakan rahasianya”.
Pada tahap pertama, anak diberi kesempatan untuk memperbaiki sendiri kesalahannya, sehingga  ia mempunyai rasa kepercayaan terhadap dirinya kemudian ia merasakan akibat perbuatannya tersebut. Akhirnya ia sadar dan insaf terhadap kesalahannya dan berjanji dalam hatinya tidak akan mengulangi kesalahannya.
Apabila dalam tahap pertama ini belum berhasil maka dilanjutkan tahap yang kedua, yaitu berupa teguran, peringatan, dan nasihat-nasiahat sebagaimana penjelasan Al-Ghazali[11].
“maka dalam tindakan yang demikian kalau sianak masih kembali lagi berbuat tidak baik untuk kedua kalinya, maka sebaiknya ia tegur dengan sembunyi dan persoalan itu dianggap besar (akibatnya) terhadap anak itu. Kepadanya dikatakan awas setelah ini enggkau jangan berbuat sepertti ini lagi ya, kalau sampai ketahuan engkau berbuat demikian, rahasiamu akan diberitahukan kepada orang banyak. Selanjutnyya setiap kali orang tua menegur anak, janganlah anyak bicara dengan hal ini, sebab banyak bicara disini akan menyebabkan sianak enteng mendengar celaan, menganggap mudah mmelakukan kejahatan-kejahatan dan perkataan (nasihat) itu tidak meresap dalam hati si anak”.
Pada tahap yang kedua ini apabila masih belum berhasil, maka Al-Ghozali memperbolehkan untuk memberikan hukuman kepada anak anak denagan cara yang seringan-ringannya dan tidak terlalu menyakitkan badannya.

F.     Relevansi pemikiran Al-Ghozali
Alangkah baiknya jika kita berbicara masalh relevansi pemikran Al-Ghozali tentang pendidikan saat, kita juga harus mengetahui pendidikan seperti apa dan bagaimana yang ada pada saat ini. Upaya ini dilakukan bukan mencoba untuk mencocok-cocokkan pemikiran Al-Ghozali terhadap keadaan kontemporer yang berlangsung, melainkan titik tekannya adalah melihat apakah corak pemikiran Al-Ghozali yang cendrung idealis-relegius masih sesuai atau sudah tertinggal?
Kemajuan dalam bidang sains dan teknologi yang terjadi pada saat ini memaksa lembaga pendidikan nasional ataupun global untuk siap berkompetensi dalam bidang tersebut. Bahkan, persaingan yang ada tidak hanya pada sector itu saja, penguatan dan pengkajian terhadap kubadayaan yang dimilki oleh setiap daerah/Negara juga harus mampu menarik masyarakat global untuk merasakannya.
Dalam upaya persaingan yang menyeret setiap elemen masyarakat untuk ikut andil dalam tuntutan global tersebut, setidaknya ada beberapa hal yang akhirnya menjadi korban. Dalam bidang pendidikan misalnya, banyak lembaga pendidikan akhirnya dalam menilai mutu kelulusan dan peningkatan mutu pendidikan hanya melihat pada aspek sains dan teknologi atau dengan kata lain. Keberhasilan sebuah lembaga pendidikan hanya dilihat dari sudut kognitifnya saja. Ironisnya, lembaga pendidikan islam formal yang seharusnya menjadi panutan juga tidak lepas dari keadaan semacam itu dan terjebak pada issue global tersebut. Makanya, tidak aneh jika sekarang kita sering melihat banyak orang yang pintar akan tetapi tidak benar.
Mulai dari para pelajar yang di harapkan sebagai penerus bangsa malah lebih  senang tawuran, mabuk-mabukkan. Orang yang memiliki kemampuan lebih dalam ranah kognisi tapi yang dilakukan malah Korupsi, Kolusi, dan  Nepotisme (KKN), Kemajuan dalam bidang informasi tidak bisa di manfaatkan dengan baik dan malah disalah gunakan, pencemaran dimana-mana, penebangan hutan semakin marak, eksploitasi yang berlebihan yang dampaknya dapat mengakibatkan kerusakan pada bumi ini dan mahkluk yang menghuni didalamnya.
Jika dikaji  lebih mendalam lagi, sebenarnya factor apa yang menyebabkan keadaan tersebut bisa terjadi pada saat kemajuan sains dan teknologi telah maju?
Disinilah letak relevansi pemikiran Al-Ghozali terhadap tujuan pendidikan yang diharapkan, yakni penekanan aspek moralitas agama yang belum bisa di terapkan oleh pendidikan kita. Pendidikan agama yang ada hanya sebatas formalitas terhadap departemen agama Tetapi, pertanggung jawaban kilmuan yang di pelajari selama ini masih kurang dari hasilnya yang memuaskan.
Oleh karena itu, pendidikan yang ideal dalam era globalisasi saat ini adalah pendikakan yang didalamnya tidak terdapat dikotomi ilmu. Kedudukan semua ilmu harus sama dan  tidak ada lagi yang namanya ilmu wajib dan ilmu sunnah karena keduanya sama-sama pentingnya bagi manusia dalam menjalankan perannya sebagai Kholifah di Bumi.




Manusia sebagai Kholifah

Ilmu

Agama/Ukhrowi
Sains/ Duniawi
Pendidikan Islam
Tuntutan Masyarakat
Tujuan:
Kemajuan teknologi
Masyarakat berbudaya
Peningkatan ekonomi
Persaingan global dll.




Mendekat diri kepada Allah
Moralitas
Etika/akhlak
Kesucian jiwa
keimanan
 



















Skema tujuan pendidikan







KESIMPULAN
Banyak anggapan bahwa stagnasi dan kemunduran baik dari pemikiran maupun pendidikan islam pada abad pertengahan disebabkan oleh pernyataan Al-Ghozali tentang konsep pendidikan islam. Al-Ghozali menyatakan bahwa ilmu agama (fardhu ‘ain) harus lebih di utamakan dari pada ilmu Duniawi (fardhu kifayah). Hal ini disebabkan karena menurut Al-Ghozali pendidikan pada dasarnya adalah upaya manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Pernyataan yang disampaikan Al-Ghozali tersebut dilandaskan pada epistemology pemikirannya yang bersifat relegiusitas.  Dengan mengambil nash-nash yang ada dalam Al-Qur’an dan hadis Al-Ghozali mencoba memadukannya dengan pengetahuan tasawwuf. Meskipun demikian, Al-Ghozali tidak menyangkal akan pentingnya ilmu Duniawi dalam kehidupan manusia.
Berangkat dari pemahaman tersebut, maka dapat disimpulkan konsep peserta didik. Menurutnya, peserta didik sebaiknya memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.       Belajar merupakan proses jiwa.
b.      Belajar menuntut konsentrasi
c.       Belajar harus didasari sikap tawadhu’
d.      Belajar bertukar pendapat hendaklah telah mantap pengetahuan dasarnya.
e.       Belajar harus mengetahui nilai dan tujuan ilmu pengetahuan yang di pelajari
f.       Belajar secara bertahap
g.      Tujuan belajar untuk berakhlakul karimah
Begitu juga pemikirannya terhadap pemberian hadiah dan hukuman, seyogyanya seorang pendidik tidak memberikannya atas dasar sayang dan benci akan tetapi, seorang dalam memberikan hadiah dan hukuman sebaiknnya melihat dari sisi proses  yang dilakukan oleh peserta didik yang nantinya pemberian hadiah dan hukuman tersebut di berikan atas tahapan dan kondisi.
Sedang relevansi pemikiran Al-Ghozali terhadap kondisi pendidikan dewasa ini adalah pendidikan moralitas yang hendak di tanamkan oleh Al-Ghozali kepada peserta didik tidak bisa di lepaskan begitu saja, mengingat pengetahuan yang banyak jika tidak di iringkan dengan pendidikan akhlak yang baik maka, dalam perjalanannya akan dapat menimbulkan kepincangan. Dimana kemajuan teknolgi sudah terlepas dari aspek moralitas maka nilai kebersamaan tidak lagi menjadi perhatian, kemajuan dalam bidang informasi akan disalahgunakan.








DAFTAR PUSTAKA
Ø  Drs. Abidin ibnu Rusyn, Pemikiran Al-Ghozali Tentang Pendidikan, pustaka pelajar, celaban timur, UH III/548, Yogyakarta.54
Ø  Prof. Dr. H Ramayulis, Dr. H, Nizar Samsul, M.A, Ensiklopedia Tokoh Pendidikan Islam, Quantum Teaching, Ciputat, 2005.
Ø  Drs. Zainudin dkk, Seluk-Beluk Pendidikan Dari  Al-Ghazali, Bumi Aksara, 1991.
Ø  Drs. H. A. Mustofa, Filsafat Islam, CV Pustaka Setia, Bandung, CET IV, 2009.
Ø  Prof. Sulaiman, Fathiyah Hasan, aliran-aliran dalam pendidikan (studi tentang pendidikan menurut Al-Ghozali), Dina Utama, Semarang 1993.
Ø  Prof. Sulaiman, Fathiyah Hasan, Konsep Pendidikan Al-Ghozali,  P3M, Jakarta, 1986.


[1]. Drs. H. A. Mustofa, Filsafat Islam, CV Pustaka Setia, Bandung, CET IV, 2009. Hal 214.

[2]. Drs. Zainudin dkk, Seluk-Beluk Pendidikan Dari  Al-Ghazali, Bumi Aksara, 1991. Hal. 10.
[3]. Ibid. hal.08.
[4]. Drs. Abidin ibnu Rusyn, Pemikiran Al-Ghozali Tentang Pendidikan, pustaka pelajar, celaban timur, UH III/548, Yogyakarta.54.
[5]Drs. Zainudin dkk, Seluk-Beluk Pendidikan Dari  Al-Ghazali, Bumi Aksara, 1991. Hal.64.
[6]Prof. Dr. H Ramayulis, Dr. H, Nizar Samsul, M.A, Ensiklopedia Tokoh Pendidikan Islam, Quantum Teaching, Ciputat, 2005. Hal. 12.
[7]. Drs. Abidin ibnu Rusyn, Pemikiran Al-Ghozali Tentang Pendidikan, pustaka pelajar, celaban timur, UH III/548, Yogyakarta.54. hal 77.
[8]. Prof. Sulaiman, Fathiyah Hasan, aliran-aliran dalam pendidikan (studi tentang pendidikan menurut Al-Ghozali), Dina Utama, Semarang 1993. Hal.39.
[9]. Drs. Zainudin dkk, Seluk-Beluk Pendidikan Dari  Al-Ghazali, Bumi Aksara, 1991. Hal. 85.
[10]. Ibid.
[11]. Ibid.